JAKARTA, SELASA - Perilaku berbahasa masyarakat selama ini kurang menempatkan bahasa nasional sebagai tuan rumah di negeri sendiri. Rasa bangga terhadap bahasa Indonesia yang telah menempatkan bahasa itu sebagai lambang jati diri bangsa Indonesia telah menurun. Masyarakat memilih penggunaan bahasa a sing atau bahasa daerah yang tidak pada tempatnya.
Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengemukakan hal itu di hadapan 1.100 peserta Kongres IX Bahasa Indonesia, Selasa (28/10) di Jakarta. Negara-negara maju, seperti Jerman dan Jepang, membangun bangsanya melalui politik identitas, walau negaranya hancur lebur akibat perang.
"Jepang membangun jati dirinya melalui pengutamaan penggunaan bahasa Jepang, seperti penerjemahan semua literatur asing dalam bahasa Jepang. Semangat dan sikap Jerman ditunjukkan pada kecintaan pada bahasanya," katanya .
Kongres IX Bahasa Indonesia merupakan forum pertemuan pakar bahasa dan sastra, budayawan, tokoh, pejabat negara, guru dan dosen, mahasiswa, dan pencinta bahasa Indonesia. Bahkan, Kongres yang akan menampilkan 105 makalah hingga tanggal 31 Oktober 2008 ini, kali ini juga melibatkan pakar berbagai bidang ilmu dan para penyelenggara pengajaran bahasa Indonesia untuk orang asing dari seluruh dunia. Forum ini mengangkat persoalan peran bahasa dan sastra dalam membangun insan Indonesia yang cerdas, bermutu, dan berdaya saing, baik lokal, nasional maupun global.
Dalam prosesi pembukaan Kongres, sastrawan Rendra membacakan puisi Kesaksian Akhir Abad. Rendra dalam bait-bait puisinya masih mempertanyakan perihal kemerdekaan. Kemudian pemberian penghargaan kepada sejumlah tokoh oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional RI kepada antara lain sastrawan Hamsad Rangkuti atas karya cerpen dalam kumpulan Bibir dalam Pispot dan sastrawan Ahmadun Yosi Herfanda atas kumpulan puisinya Ciuman Pertama untuk Tuhan. Operet Gebyar 80 Tahun Sumpah Pemuda oleh Teater Tanai Air pimpinan Yose Rizal Manua, dan musikaliasi puisi oleh Ari dan Reda.
Mendiknas Bambang Sudibyo mempertanyakan, mengapa bangsa yang telah membangun diri melalui politik identitas jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan (sekarang berusia 80 tahun) tidak juga membawa kemajuan dalam bidang perekonomian kita. "Adakah kondisi ini disebabkan kekurangyakinan kita pada identitas keindonesiaan yang telah diikrarkan dalam Sumpah Pemuda itu? Akibatnya, derap langkah kita dalam membangun keindonesiaan kurang terarah karena kurang percaya diri. Indikasinya, kurang menempatkan bahasa nasional sebagai tuan rumah di negeri sendiri."
Pembangunan bangsa melalui politik identitas bukan berarti kita anti terhadap identitas bangsa lain, Bambang menegaskan. Penempatan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dalam Undang-undang Dasar Negara Kesatuan RI 1945 telah menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu dan bahasa media massa, serta bahasa pengantar dalam pelaksanaan pendidikan anak bangsa.
Hal ini dipertegas kembali dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar pendidikan nasional. Kongres Bahasa Indonesia yang dinilai sangat strategis, diharapkan Mendiknas dapat membahas berbagai masalah kebahasaan dan kesastraan terkait dengan berbagai perubahan dan perkembangan yang terjadi. Kongres juga diharapkan dapat merumuskan berbagai langkah strategis untuk terus mengembangkan bahasa Indonesia untuk berbagai keperluan masyarakat pendukungnya dalam kehidupan masa kini dan masa depan.
"Di samping itu juga dapat merumuskan strategi peningkatan mutu penggunaan bahasa Indonesia di berbagai kalangan masyarakat, terutama di kalangan pendidikan anak bangsa untuk menghasilkan lulusan yang cerdas dan berdaya saing serta mandiri," papar Bambang Sudibyo. (Sumber : www.kompas.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar